Potret Pendidikan di Negeriku

Negeriku menyimpan banyak kekayaan alam.Dari sabang sampai merauke tersimpan hasil kekayaan bumi yang tak perlu dpertanyakan lagi harganya dipasaran dunia jika itu dijual.Penduduknyapun sejahtera hidupnya, serba kecukupan dan tak ada pengangguran.Buktinya, seorang ibu yang tinggal dikota Makassar ini meninggal dengan tenang dan tersenyum (meringis menahan rasa sakit karena tidak ada lagi energi yang bisa dikonsumsi oleh organ vital).Bukan hanya itu, ibu inipun meniggalkan wasiat kerumah sakit Haji berupa dua orang anak yang tampak cerah wajahnya (pucat karena anemia defisiensi besi dan asam folat).Keduanya berbeda keadaannya, yang satu kelihatan riang dengan menggegam uang (muka memelas dengan beberapa lembar uang ditangannya yang didapat dari belas kasih orang yang melihatnya).Sedangkan yang satu lagi tampak berbaring dikasur yang empuk bak diranjang seorang petinggi istana (dibangsal rumah sakit) dengan perut buncit tanda penuh dengan sesuatu yang mengisi perutnya.

Pendidikan yang terjamin dari pemerintah merupakan akibat dari kekayaan alam yang dimiliki.Dengan tenaga-tenaga terdidik dan terlatih maka tak perlu diragukan lagi tentang kualitas mereka yang merupakan sebuah gambaran tentang kualitas anak didiknya kelak.Tiap tahun dihasilkan ribuan tenaga pengajar oleh beberapa perguruan tinggi diseluruh Nusantara yang siap ditempatkan didaerah kering demi sebuah pengabdian.Bagaimana tidak, orang yang dididik dengan tenaga professional tentu hasilnya akan jauh berbeda dengan orang yang dididik oleh orang yang tidak memenuhi kualifikasi yang harus dimiliki oleh seorang pendidik.Hal ini dapat kita lihat dari kota hingga pelosok.Contohnya adalah didaerah Luwu Utara yang sekarang sedang dilaksanakan pendidikan gratis dan peningkatan kesejahteraan bagi pahlawan tanpa tanda jasa ini.Semenjak kemunculan program ini, para guru berlomba-lomba untuk mengejar akta pendidikan dan melanjutkan kuliah karena belum ada embel-embel dibelakang namanya.Dengan bermodalkan rekomendasi dari sekolah tempat mengabdi yang memberitahukan kepada diknas setempat bahwa mereka telah mengabdi berpuluh-puluh tahun (sebenarnya sih baru enam bulan, mungkin mereka mantan juara lomba matematika sih so jadi banyak hasil hitungannya), mereka sudah dapat menikmati Beasiswa untuk kuliah dan NIP (Nomor Induk Pegawai) sudah pasti jadi milik mereka.Apalagi hal ini didukung oleh menjamurnya perguruan tinggi yang berkualitas didaerah itu.Buktinya mereka mampu menelurkan sarjana-sarjana pencerah bangsa hanya dalam waktu dua tahun bahkan ada yang satu tahun (tergantung berapa lembaran kertas yang diselipkan kekantong salah satu oknum perguruan tinggi tersebut) yang normalnya pendidikan ini dapat diselesaikan dalam waktu empat tahun.Sebenarnya mereka tidak mengurangi masa kuliah (karena itu merupakan hal yang sangat haram bagi mereka) tetapi menawarkan paket mata kuliah dalam semester dengan lembaran-lembaran kertas dengan variasi nilainya.Jika bagi mereka yang hanya mampu menebus dengan kertas itu untuk dua paket maka mereka harus rela kuliah selama tiga tahun.Jadwal kuliahnyapun sangat padat, mulai sabtu sampai minggu (dua hari full dari jam 09.00 sampai jam 16.00).Bukan hanya itu, mereka juga harus membuat tim untuk skripsinya (dibuatkan oleh oknum perguruan tinggi tersebut maksudnya).Itulah pengorbanan yang harus mereka berikan untuk mendapatkan selembar kertas legal dengan dua buah tanda tangan dan cap stempel dari sebuah perguruan tinggi.

Itu di Masamba, lalu bagaimana dengan kota Makassar tercinta kita.Satu torehan prestasi yang harus mendapatkan penghargaan dari pemerintah kota memang harus kita beri acungan jempol untuk menggambarkan sebuah kedisiplinan dalam dunia pendidikkan kita yang sangat berkualitas ini.Mungkin kita tidak akan memberikan respon yang serius tentang masalah ini karena hal ini sudah biasa terjadi dinegeri kita ini.Bahkan sudah menjadi hal yang sangat wajar bahkan wajib hukumnya ada.Prestasi ini dibuat oleh guru-guru sebuah sekolah menengah atas yang berada di Makassar saat UN berlangsung.Sebuah tim yang terdiri dari limabelas orang berusaha membuktikan kecintan mereka kepada para muridnya.Mereka tidak mau murid mereka hanya lulus dengan nilai pas-pasan atau bahkan tidak lulus.Apalagi jumlah persentase kelulusan murid menunjukkan gengsi sekolah tersebut.Rasa semangat yang berlebihan membuat mereka harus membuka lembaran soal UN sebelum jadwal yang resmi dimulai.Suatu prestasi yang tidak perlu di pertanyakan lagi.

Ternyata tidak sampai disitu kejayaan pendidikkan kita.Dalam waktu yang bersamaan ditemukan pula mahasiswa-mahasiswa yang sangat peduli akan pendidikkan kita ditemukan.Mereka berasal dari salah satu perguruan tinggi pencetak tenaga guru terbesar di Makassar.Masalah nama saya kira tidak perlu disebutkan karena itu kewajiban pembaca untuk mencarinya.Saya membacanya di Tribun Timur tanggal 26 April 2008.Mereka berusaha membantu menjawabkan soal-soal UN bagi siswa-siswa kelas tiga SMU yang saat itu memang sangat membutuhkan jawaban itu untuk mengisi bulatan-bulatan kecil dalam kertas yang telah disiapkan oleh pemerintah pusat.

Dari tadi kita menyinggung masalah pendidikkan yang masih bertaraf SMU kebawah.Bagaimana dengan pergruan tingginya.

Perguruan tinggi juga tidak mau ketinggalan dalam hal prestasi.Sebagai buktinya, acara yang diselenggarakan oleh kampus merah (salah satu julukan perguruan tinggi di Makassar) berupa silaturahmi ala Barbarian.Suatu acara tahunan yang sudah mendarah daging bagi salah satu fakultas dalam universitas tersebut yang sempat tak terlaksana ditahun sebelumnya karena suatu alasan yang mereka tak dapat pahami.Paling mengagumkan lagi dari mereka, ternyata acara yang sempat tak terlaksana tahun sebelumnya membuat tangan mereka gatal untuk menyalurkan hasrat yang begitu kuat yang mungkin dapat menimbulkan perasaan ueforia.Tak urung lagi, mereka menandangi fakultas didekat mereka untuk melakukan pemanasan sebelum acara yang sesungguhnya dilaksakan.Tak puas dengan itu, teman satu fakultasnya pun tak luput jadi korban untuk melayani ambisi yang mereka sendiri menyadari bahwa itu suatu hal yang tak masuk akal dalam pikiran mereka.Tapi ternyata hal itu tak mampu mengalahkan suatu dogma yang harus menyebut mereka sebagai si Raja rimba, yang mengakui kelebihan mereka bukan dari sudut intelektual melainkan dari sebuah gelar yang tidak perlu lagi dizaman yang serba canggih ini.

Inilah sebuah potret pendidikkan kita yang menggambarkan sebuah kearifan intelektual, pencetakkan prestasi, an sebuah idealisme mulia.Mungkin pembaca bingung dengan tulisanku ini, tapi saya juga yakin kalau pembaca adalah orang yang cerdas untuk mengerti dan memikirkan solusi dari semua ini.Ini bukanlah tanggung jawab perorangan atau golongan orang tertentu saja tapi sebuah amanah bagi kita semua untuk memperbaikinya.Kalau tidak memulai dari kita dan sekarang lalu mulai dari siapa dan kapan lagi?

Tidak ada komentar: